"Kau tidak bisa berbohong padaku, Harold! Kau mengajak dia berbicara lagi, kan?"Harry menghela napasnya. "Iya. Dan kau tahu? Dia dingin. Lagi-lagi dia dingin.""Kau akan tetap menyukainya? Oh, Harry, berhentilah! Masih banyak yang lain, yang lebih baik dan lebih mau menerima dirimu.""Tidak, Zayn. Aku tidak bisa berhenti. Dia lain dari yang lain. Sikap dinginya yang buat aku tertarik."~
Miracle of Love (Part 1)~ ~~~
Pevita yang melihat tidak ada makanan di dalam kulkas hanya bisa mendesah pelan. Mamanya pergi ke rumah salah seorang temannya sedangkan Ayahnya ada kerjaan di Indonesia dalam 3 hari ke depan ini. Dia ditinggal bersama Danielle pagi ini.
Pevita lalu duduk di atas meja dapur --yang terbuat dari beton-- lalu melamun. Dia melamunkan Harry yang menyapanya kemarin. Kejadian kemarin itu membuat dia ingin membenci One Direction terutama Harry.
"Dia pikir siapa dirinya," gumam Pevita geram.
Tiba-tiba Danielle datang ke dapur lalu membuka pintu kulkas. Sebelum Danielle berkomentar, Pevita sudah berkomentar deluan. "Kosong. Kau tidak akan menemukan makanan," ucap Pevita.
"Bagus, kalau begitu, aku akan makan di luar. Kau ikut?" tawar Danielle pada Pevita.
"Kau yang traktir?"
"Baiklah."
***
Pagi itu mereka sarapan wafel dan madu. Sebenarnya, Pevita sangat tidak suka wafel, tapi hanya itu yang mereka dapat untuk pagi itu.
"Ehm, Pev," Dani angkat bicara. "Aku ingin bertanya."
"Tanyakan saja. Sejak kapan aku memberlakukan kau harus meminta izin dulu sebelum bertanya denganku?"
"Tentang kemarin saat kau meninggalkanku. kau berbohong, kan tentang panggilan tugasmu?" tanya Dani hati-hati.
Pevita mendengus keras. "Aku tidak berbohong."
"Kau berbohong , Pev. Aku tahu. Kau pasti berbohong!"
"Sejak kapan kau mulai sok pintar, Dani? Kau bukan Tuhan yang tahu segalanya!" tusuk Pevita tajam.
"Pev, jangan memulai! Aku hanya ingin tahu apa alasanmu pergi begitu saja kemarin. Apa ada hubungannya dengan Harry?" tanya Dani menyelidiki.
"Tidak, tidak ada hubungannya dengan lelaki itu," tandasnya. "Aku tidak mau melukaimu, Dani, karena aku menghormatimu. Jadi, kumohon hentikan ini!" lanjutnya.
"Aku tidak akan berhenti sebelum kau mengatakan yang sejujurnya. Katakan, ini pasti ada hubungannya dengan Harry, kan?"
Pevita berdesis ganas. "Kau bosan hidup, ya?"
Danielle diam diam. Dia membalas tatapan tajam milik Pevita yang semakin hari semakin melunjak.
"Katakan yang sebenarnya, Pevita!" desak Danielle.
Pevita melepaskan napas yang sempat dia tahan dari tadi. Dia menyerah. "Ternyata, dia mengadu, ya?" Pevita tertawa melecehkan Harry.
"Tidak. Harry tidak mengadu," balas Danielle cepat.
"Oh, lihat! Dan sekarang, pasti dia mengancammu, kan?"
"Tututp mulutmu, Pevita!" geram Danielle. "Dengar, dia tidak mengadu ataupun mengancamku untuk tutup mulut karena dia telah mengadu. Aku melihatnya! Aku melihat ketika kalian berbicara dengan emosi dan kau pergi dengan perasaan marah."
Beberapa detik kemudian ketika mereka saling diam, Pevita hendak berbicara sesuatu tapi dia langsung mengurungkan niatnya.
"Kau melukainya, Pevita!" desis Danielle sedih.
"Apa peduliku? Aku bukan siapa-siapanya. Dan, aku sama sekali tidak mau peduli apakah dia terlukai ataupun tidak sama sekali terlukai. Kupikir, aku melakukan hal yang memang harus kulakukan."
"Pevita, apa sebenarnya yang membuatmu membenci mereka?" tanya Danielle yang mmebuat Pevita risih.
"Dengar dan camkan! Aku tidak membenci mereka, Dani! Hanya sikapku saja yang dingin kepada mereka."
***
Setelah keluar dari supermarket, Pevita segera menuju ke tempat mobilnya terparkir. Dia meletakkan belanjaannya dalam bagasi lalu masuk ke dalam jok depan. Tetapi, sebelum masuk, tangannya terasa ditarik oleh seseorang.
Saat dia menyapu pandang untuk mencari orang yang telah menarik tangannya tadi, dia menemukan Harry berdiri di situ. Memegang tangannya dan menatap matanya.
"Mau apa kau?" tanya Pevita tajam.
"Aku butuh waktumu 20 menit. Aku ingin membicarakan sesuatu."
"Maaf, tapi aku sibuk hari ini. Aku mempunyai banyak agenda untuk hari ini," kata Pevita sambil berusaha melepaskan tangannya.
"Aku tidak akan melepaskan tanganmu sebelum kau menuruti ajakanku. Please, Pevita, hanya 20 menit. Di kedai itu," Harry menunjuk salah satu kedai di ujung jalan.
Pevita berpikir lama. Dia sudah bertekad untuk menjauhi Harry. Tapi, hari ini dia snagat sial bertemu Harry di tempat seperti ini. Dan sekarang, dia mengancam dirinya tidak akan melepaskan tangannya sebelum dirinya menerima ajakan lelaki itu. Karena dia tidak ingin membuat dirinya melihat Harry lebih lama, dia pun menuruti ajakan lelaki itu.
"Mau pesan apa, Pev?" tawar Harry ramah.
"Tidak usah basa-basi! Apa yang ingin kau katakan?"
Harry mengambil jeda sesaat.
"Aku hanya ingin tahu, apa alasanmu bersikap seperti ini terhadapku dan One Direction," ucap Harry sambil menatap lekat mata Pevita.
Pevita yang tidak mau hanyut dalam tatapan Harry langsung mengalihkan pandangannya. "Tidak ada," jawab Pevita.
"Kalau begitu, berhentilah bersikap seperti ini, Pevita! Aku hanya ingin kau bisa dekat denganku dan One Direction. Kami menyukaimu saat pertama kali kau berkunjung dan menceritakan semuanya. Kau terlihat lebih ceria dan kami menyukai itu. Jujur, aku rindu kau saat yang pertama kali kau bercerita tentang semuanya."
Pevita menatap Harry nanar. Sebentar. Hanya sebentar saja lalu mengalihkan pandangannya lagi. "Maksudmu, mencoba menjadi bagian dari hidupku? Tidak, Harry, itu tidak akan pernah. Aku punya alasan dan kau tidak perlu tahu! Biarkan hanya aku yang mengetahui dan mempelajarinya," katanya sambil menatap ke arah jalan.
"Kau berubah, Pevita! Kau sungguh berubah! Aku kecewa dengan perubahanmu dan rindu sekali dengan kau yang dulu. Bukan cuma aku. Semuanya rindu."
***
To be continue..